Tuesday, April 26, 2011

Gak ada hak. Sebenarnya !

Kenapa kamu harus datang !
Kenapa kamu harus praktik di sini !
Apa pulau Jawa tak mampu menampung badanmu yang kecil?
Kenapa harus Kalimantan !
Kenapa harus KalSel? Barabai !
...Kembali saja ke asalmu ! Jogja ! Bali sekalian !
Setidaknya jangan KALSEL !!!

aku marah ketika tahu dia ada disini. sangat marah.
Mendengar nama kota itu saja sudah bikin perutku mual, ingin muntah. ditambah tahu kabar dia ada disini.

sebenarnya tidak ada hak membencinya. Dia baik, sepertinya. Pekerjaannya mulia, seorang dokter. Tidak ada yang salah. Tentu ada. Dia salah. Sangat salah.

Aku membencinya. Sangat !
Tuhan. Aku benci dia. Sangat benci dia.
Membenci tidak perlu alasan.
Mencintai seseorang saja tidak perlu alasan. Kenapa membenci seseorang harus memerlukan alasan? Tidak perlu bukan?
Bukankah cinta dan benci itu sebanding?

Kembali saja kau !
atau aku paksa saja?

Wednesday, April 6, 2011

Cita-cita tidak sama dengan Keinginan

“Apa sih cita2 itu?”
Tuing.. pertanyaan aneh dari seorang Profesor lulusan London pada pelajaran Fisika Dasar 2 kemarin. Hmmmmmmmm
“Sama tidak dengan keinginan?”. Gak tau Prof. Apa coba hubungannya sama Fisika?

Sebenarnya saya juga tidak tau apa itu cita2. Dan sampai saat ini pun saya belum mikirin sendikitpun tentang cita2. Argh, teringat dulu masa2 jahiliah alias SMP. Saya satu2nya murid cewek yang tidak mempunyai diary kecil untuk ditulisi biodata. Mereka (teman2) berlomba2 mencari biodata teman sekelas untuk minta ditulisi ke diary-nya masing2. Tibalah giliran saya yang harus mengisi. Setelah baca2 punya yang lain, niatnya sih bukan untuk nyontek Cuma mau nyari referensi apa saja yang harus ditulis.
Nama :
TTL :
Hobby :
Makanan Favorit :
Minuman Favorit :
Dan………
CITA – CITA !!!

Cita-cita? Saya belum memikirkannya. Dan saya rasa saya tidak punya cita2. Namun saya mempunyai sejuta keinginan. Ingin menjadi yang lebih baik tentunya dan ingin menjadi seseorang yang mapan kelak, serta masuk SURGA. Hehe

Ngomong2 masalah kemapanan untuk kehidupan kelak. Gelar SARJANA dengan IPK komlot tidak cukup menjadi modal untuk seorang yang sukses. Bisa sajakan seorang petinggi di Instansi yang kita tuju nanti berpikir “Heh. Masa gue mesti nerima lo yang nile IPKnya jauh lebih tinggi dari gue? Kalah pinter dong gue”.
Zzz, nyebelin banget kan? Padahal kita dah capek2 siang malam bergelut dengan buku selama 4 taon. Masih untung kalo Cuma 4 taon, lah? Klo lulusnya sampe 5,6, atau 7 taon? Lumutan dong dikampus.

Back to our problem.
So, itu tidak akan cukup. “Kita harus punya nilai plus didiri kita”. Bukan berarti IPK itu tidak penting. Kalo IPK dibawah standar kan bisa brabe juga urusannya.

Cita-cita itu tidak penting. Yang terpenting itu kita harus punya keinginan. Keinginan untuk menjadi seseorang, keinginan untuk menjadi pribadi yang bisa berguna untuk diri sendiri dan tentunya untuk orang banyak juga. Itu yang saya tangkap.

Friday, April 1, 2011

Nyatakan kepadaku

Aku tidak lebay dan artinya aku tidak suka puisi, tapi aku mencintai sastra. Teringat akan sesuatu. Saat itu, di sesi iklan sebuah acara di TVRI ada seorang tua membacakan sesuatu dengan suaranya yang berat tapi santai. Sebuah puisi yang sampai sekarang hanya satu kata yang aku ingat darinya, "Sujud".

Lama setelah itu, tidak pernah ada lagi satu puisi pun yang mampu membuat kudukku berdiri. Sampai seorang penderita multiple sclerosis bernama Ferrasta "Pepeng" Soebardi membuatkan sebuah puisi tulus untuk sang istri, "Dik Uta" panggilannya.

Hanya komposisi kalimat sederhana, namun menjadi luar biasa saat yang membacakannya 'Dik Uta' yang tidak kuasa menahan haru, dan Sang suami hanya berkata, "Kayak sinetron aja..." sambil tertawa dan menghapus airmata.

"Aku mencintaimu tanpa batas..."

Luar biasa, bukan?


Kemudian, teringat lagi akan kabaryang menjadi berita hangat di teve pada bulan Mei 2010 lalu. Aku kembali tak kuasa menahan ketertarikan luar biasa pada sebuah puisi untuk seseorang yang baru saja pergi. Menyaksikan kasih sayang di hari tua, dan maut yang baru benar-benar bisa memisahkan mereka.


Puisi BJ. Habibie untuk istri beliau, Almarhumah Ibu Hasri Ainun Habibie:

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku....

Namun,, adakah seseorang yang akan menyatakannya padaku?